MENJUNJUNG KODE ETIK
ATAU PROFESI GURU
Oleh : Hanny
Findayani
A. PENDAHULUAN
Peranan guru sangat penting bagi para peserta
didiknya. Melalui bimbingan guru yang professional setiap siswa dapat menjadi
sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif dan produktif sebagai aset
nasional dalam menghadapi persaingan yang semakin berat dan ketat di masa
sekarang dan yang akan datang. Al-qur’an memberi gambaran tentang hal tersebut.
Berdasarkan firman Allah antara lain : 1.QS.
Al-Shaf/61:2-3 dari kata
ﻟﻢ ﺗﻘﻮﻟﻮنﻣﺎﻻﺗﻔﻌﻠﻮن 2.QS. Al-Ghafir/40:35 dari kata ﻳﺠﺪﻟﻮنﻓﻰءاﻳﺖﷲ 3.QS. Al-Kahfi/18:4-5 dari kata ٱﺗﺨﺬﷲوﻟﺪا dan ﻛﺒﺮتﻛﻠﻤﺔ Dan sabda Nabi Muhammad
SAW:
ﻻﺗﺒﺎﻏﻀﻮا وﻻﺗﺤﺎﺳﺪوا وﻻﺗﺪاﺑﺮوا وﻻﺗﻘﺎﻃﻌﻮا، وﻛﻮﻧﻮا
ﻋﺒﺎدﷲ إﺧﻮان، وﻻﻳﺤﻞﻟﻤﺴﻠﻢ. ﻋﻦأﺑﻰﻣﻮﺳﻰﻗﺎل: ﻗﻠﺖ ﻳﺎرﺳﻮلﷲ، أى اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ أﻓﻀﻞ؟ ﻗﺎل: ﻣﻦ أن
ﻳﻬﺠﺮأ ﺧﺎﻩ ﻓﻮق ﺛﻼث. (روﻩاﻟﺸﻴﺨﺎن) إﺑﺪأ ﺑﻨﻔﺴﻚ واﺑﺪ أﺑﻤﻦﺗﻌﻮلﺳﻠﻢ اﻟﻤﺴﻠﻮنﻣﻦﻟﺴﺎﻧﻪ وﻳﺪﻩ
(روﻩاﻟﺸﻴﺨﺎن).
Dari beberapa ayat Al-Quran di atas,
“Menjunjung Kode Etik atau Profesi Guru”
dirumuskan sebagai berikut : Pertama, Apakah yang disebut kode etik guru? Kedua,
Mengapa guru wajib menjaga kode etik ? Ketiga,
Mengapa guru wajib menyampaikan isi ayat
Al-quran? Keempat, Mengapa guru
dilarang mengatakan yang bathil? Berikut pembahasannya :
B. PEMBAHASAN
1. Kode Etik Guru
Keguruan merupakan
suatu jabatan profesional karena pelaksanaannya menuntut keahlian tertentu melalui
pendidikan formal yang khusus, serta rasa tanggung jawab tertentu dari para
pelaksananya.[1]
Menurut Adi Negoro
dalam bukunya Ensiklopedia Umum sebagaimana yang dikutip oleh Sudarno, dkk,
mengemukakan : Etika berasal dari kata Eticha
yang berarti ilmu kesopanan, ilmu kesusilaan, dan kata Eticha (etika, ethos, adat, budi pekerti, kemanusiaan).[2]
Menurut Hendiyat
Soetopo, “Etik diartikan sebagai tata-susila (etika) atau hal-hal yang
berhubungan dengan kesusilan dalam mengerjakan suatu pekerjaan”.[3]
Guru harus di
berdayakan. Lebih utama lagi, guru harus mampu memberdayakan diri dipandu oleh
Kode Etik dan etika kerja tertentu. Jadi keutamaannya adalah guru itu
sendirilah yang harus memberdayakan diri.
Pemberdayaan profesi
guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara
demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, kemajemukkan bangsa,
dan kode etik profesi. [4]
Kode etik guru
merupakan norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru sebagai pedoman
sikap dan prilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota
masyarakat, dan warga negara. Pedoman sikap dan prilaku yang dimaksud adalah
nilai-nilai moral yang membedakan prilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak
boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas professionalnya untuk
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
siswa, serta pergaulan sehari-hari dalam dan luar sekolah.[5]
Oleh karena itu guru tidak hanya mempunyai kode etik, tetapi guru juga wajib
menjaga kode etik.
2. Guru Wajib Menjaga Kode Etik
Kata لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ - كَبُرَ مَقۡتًا yang artinya mengapa kalian mengatakan apa
yang tidak kalian perbuat.Ibnu katsir berkata dalam kitab tafsirnya bahwa jumhur
ulama memposisikan ayat ini, bahwa ia turun ketika orang-orang yang beriman
banyak yang merindukan kewajiban jihad atas mereka, namun ketika kewajiban itu
turun, ada sebagian yang berpaling.[6]
Qatadah dan
adh-Dhahhak berkata, “Ayat ini turun untuk mencela kaum yang mengatakan, ‘kami
telah berperang, membunuh, memukul, menombak, dan melakukan ini dan itu’,
padahal mereka tidak pernah melakukannya.”
Kebencian yang besar
disisi Allah adalah puncak dari kebecian dan pengingkaran yang paling keras.
Ayat ini mengisyaratkan tentang tema yang langsung di mana sebagian orang-orang
yang beriman mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan yaitu jihad, yang
telah ditetapkan sebagai amal yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya.
Berdasarkan konteks ayat diatas, seorang guru harus tampil secara
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak sesuai
dengan jenjang pendidikannya.
Dalam upaya mewujudkan prinsip-prinsip tersebut, guru dituntut memiliki
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.[7] Selain
itu guru juga wajib menyampaikan isi ayat al-qur’an.
3. Guru Wajib Menyampaikan Isi Ayat Al-Quran
Seorang guru wajib menyampaikan isi Al-quran karena
al-quran sebagai petunjuk bagi kita untuk mencapai hidup yang
bahagia di dunia dan akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT:
انﻫﺬا اﻟﻘﺮءان ﻳﻬﺪى ﻟﻠﺘﻰﻫﻰ أﻗﻮم وﻳﺒﺸﺮ ٱﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ
ٱﻟﺬﻳﻦ ﻳﻌﻠﻮن ٱﻟﺼﻠﺤﺖ أنﻟﻬﻢ أﺟﺮاﻛﺒﻴﺮا
Sesungguhnya Al-quran
ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar
gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka
ada pahala yang besar.
Ketidakbengkokan kitab suci al-quran
dikukuhkan lagi dengan firman-Nya, sebagai
bimbingan yang lurus, dan sempurna, yang mengatasi dan menjadi tolak ukur
kebenaran semua kitab-kitab suci sebelumnya dengan tujuan untuk memperingatkan siapa pun tentang adanya siksa yang sangat pedih dari sisi Allah yang tidak terjangkau atau
dapat dilukiskan dengan kata-kata betapa pedihnya dan kitab suci itu juga memberi
berita gembira kepada orang orang mukmin yang mantap imannya dan yang selalu mengerjakan amal-amal yang
saleh, bahwa bagi mereka ganjaran yang besar lagi baik yaitu surga dan segala kenikmatannya; mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.[8]
Kewajiban seorang guru menyampaikan Al-quran
sebagai petunjuk dan menjadikan Al-quran sebagai ped6oman hidup kita dengan
menjalankan perintah yang terdapat didalam Al-quran dan menjauhi larangannya agar kita mendapat
keselamatan di dunia dan akhirat kelak.
Selain guru wajib menyampaikan isi ayat
al-quran, guru juga dilarang mengatakan yang bathil.
4. Guru Dilarang Mengatakan yang Bathil.
Kemudian Allah SWT berfirman, “Yaitu
orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada
mereka.” Yakni, orang-orang yang menolak kebeneran dengan kebatilan tanpa dalil
dan hujjah. Sesungguhnya Allah amat murka terhadap hal itu. Itulah sebabnya
Allah SWT berfirman. “Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di
sisi orang-orang yang beriman.” Yakni, orang-orang beriman juga akan membenci
orang yang mempunyai sifat seperti ini. Dan
sesungguhnya, Allah telah mengunci mati hati-hati mereka, sebagai balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan, hingga mereka tidak mengenal m ana
yang makruf dan mereka tidak mengingkari yang mungkar. Itulah sebabnya Allah
SWT berfirman, “ Yakni, orang-orang yang sombong sehingga tidak mau mengikuti
kebenaran,” dan sewenang-wenang.”[9]
Dalam Firman Allah SWT, ”Hai orang-orang
beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” merupakan
pengingkaran Allah terhadap orang yang menetapkan suatu janji atau mengatakan
suatu ucapan, namun ia tidak memenuhinya. Diterangkan dalam sebuah hadits sahih
bahwa Rasulullah saw bersabda,
آﻳﺔاﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ﺛﻼث : إذاوﻋﺪأﺧﻠﻒ، و إذاﺣﺪثﻛﺬب، و إذا
أﺗﻤﻦﺧﺎن
“Tanda-tanda orang
munafik itu ada tiga: bila berjanji, dia tidak pernah memenuhinya; bila
berbicara, dia berdusta; bila diberi amanah, dia khianat.”
Inilah sebabnya Allah mempertegas dengan ayat
yang selanjutnya,”Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
Ibnu Abbas r.a. mengatakan, orang-orang yang beriman dulu
sebelum datang perintah tentang jihad pernah mengatakan,’Kami sangat senang
bila Allah menunjukkan kepada kami suatu amal perbuatan yang paling
dicintai-Nya, maka kami akan melaksanakannya.’Kemudian Rasulullah saw memberitahukan
kepada mereka bahwa amal perbuatan yang paling disukai-Nya adalah keimanan yang
tidak dinodai dengan keraguan dan berjihad terhadap orang-orang yang berbuat
durhaka kepada-Nya, yaitu orang-orang yang tidak mau beriman dan tidak mau
mengikrarkannya. Ketika turun perintah jihad, ada beberapa orang beriman yang
tidak menyukai hal itu dan sangat berat dihati mereka. Maka Allah pun
menurunkan ayat, “Hai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang
tidak kamu perbuat?”.[10]
Agar dapat mengetahui semua pembahasannya maka dibuat kesimpulannya.
C. KESIMPULAN
1.
Jadi kode etik atau profesi guru adalah pedoman,
aturan-aturan, norma-norma
tingkah laku yang harus ditaati dan diikuti oleh guru
profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sehari-hari. Kode
etik guru juga merupakan norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru
sebagai pedoman sikap dan prilaku yaitu
nilai-nilai moral yang membedakan prilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh
dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas professionalnya.
2.
Berdasarkan ayat al-quran yang disampaikan tentang wajib menjaga
kode etik,
seorang guru harus tampil secara profesional dengan tugas
utama yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik yang sesuai dengan jenjang pendidikannya.
3.
Kewajiban seorang guru menyampaikan Al-quran sebagai
petunjuk dan
menjadikan Al-quran sebagai pedoman hidup kita dengan
menjalankan perintah yang terdapat didalam Al-quran dan menjauhi larangannya
agar kita mendapat keselamatan di dunia dan akhirat kelak.
4.
Sesungguhnya Allah dan orang-orang beriman amat murka
terhadap orang-orang
yang menolak kebeneran dengan kebatilan tanpa dalil dan
hujjah.
REVERENSI
Prof. Dr. Muhammad Surya, Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi Dari
Guru, untuk Guru, Bandung : Alfabeta, Cetakan Kedua tahun 2014
Sudarno, dkk, Administrasi Supervisi Pendidikan, Surakerta : Sebelas Maret
University Press, Cetakan Kedua tahun 1989
Hendiyat Soetopo, Wasty Soemanto, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan,
Jakarta : PT. Bina Aksara, 1998
Sudarwan Danim, Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru, Bandung: Alfabeta,2010
Sudarwan Danim, Pengembangan Profesi Guru : Dari Prajabatan, Induksi, ke Professional Madani, Jakarta: Kencana, 2011
Quthb
Sayyid, Tafsir fi zhilalil qur’an,
Jakarta: Gema Insani Pers, 2004, Jilid 22
Surya Mohamad, PSIKOLOGI GURU konsep dan
aplikasi, Bandung: Alfabeta,2014
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT Karya Toha Putra 1993, Cetakan Kedua
Ahmad Nasib Mu-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta:Gema
Insani Press, 2002, Jilid 4
[1] Prof.
Dr. Muhammad Surya, Psikologi Guru Konsep
dan Aplikasi Dari Guru, untuk Guru, (Bandung : Alfabeta,2014), Cet. II,
hlm. 369.
[2] Sudarno,
dkk, Administrasi Supervisi Pendidikan, (Surakerta
: Sebelas Maret University Press, 1989), Cet. II, hlm. 117.
[3] Hendiyat
Soetopo, Wasty Soemanto, Kepemimpinan dan
Supervisi Pendidikan, ( Jakarta : PT. Bina Aksara, 1998), hlm. 281.
[4] Sudarwan
Danim, profesionalisasi dan Etika Profesi
Guru, (Bandung:Alfabeta,2010),hlm. 99.
[5] Sudarwan
Danim, Pengembangan Profesi Guru: Dari
Prajabatan, Induksi, ke Professional
Madani, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 257.
[7] Surya
Mohamad, PSIKOLOGI GURU konsep dan aplikasi, (Bandung:Alfabeta,2014),hlm. 374
[8] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), hlm. 8.
[9] Ahmad
Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang:
PT Karya Toha Putra 1993). Cet. II, hlm. 163.
[10] Ahmad
Nasib Mu-Rifa’i, Kemudahan dari Allah
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta:Gema Insani Press, 2002), Jilid 4,
hlm. 686.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar