Sabtu, 21 Januari 2017

Akhlak Tasawuf

MAKALAH AKHIR SEMESTER
Nama Mahasiswa/wi   : Hanny Findayani
NPM                           : 151104090165
Fakultas                       : Agama Islam
Smt/Jurusan                 : III/ PAI
Mata Kuliah                : Akhlak Tasawuf
Dosen Pembimbing     : Dr. K.H Badruddin H. Subky M.H.I
 






SOLUSI EFEKTIF DALAM PENYIMPANGAN AJARAN TASAWUF
 







PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
TH. 2017 M / 1438 H


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
            Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Solusi Efektif dalam Penyimpangan Ajaran Tasawuf ini dengan baik meskipun masih banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima kasih kepada Bapak Badruddin H. Subky selaku Dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
            Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita menganai Solusi Efektif dalam Penyimpangan Ajaran Tasawuf ini. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
            Semoga makalah yang sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna perbaikan malakah ini di waktu yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
                                                                                        Bogor, 08 November 2016


                                                                                                                  Penyusun

DAFTAR ISI








Oleh : Hanny Findayani

A. PENDAHULUAN

Pada perkembangannya, tasawuf ke arah pertama ini sering disebut tasawuf akhlaqi. Ada juga yang menyebutkan tasawuf yang sering dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut tasawuf disebut sebagai falsafi. Dimana pembagian dua jenis tasawuf di atas ini berdasarkan atas kecenderungan ajaran yang dikembangkan, yakni kecenderungan pada perilaku atau moral keagamaan dan kecenderungan pada pemikirin. Dua kecenderungan ini terus berkembang hingga mempunyai jalannya masing-masing. Untuk melihat perkembangan tasawuf ke arah yang berbeda ini, perlu ditinjau lebih jauh tentang gerak jarak perkembangannya.
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama,
Bagaimana Sejarah Penyimpangan Ajaran Tasawuf? Kedua, Apa saja Macam-macam Penyimpangan Ajaran Tasawuf? Ketiga, Bagaimana solusi efektif dari Penyimpangan Ajaran Tasawuf?. Berikut Pembahasannya:

B. PEMBAHASAN

1.      Sejarah Penyimpangan Ajaran Tasawuf

Awalnya para sufi ini pertama berkomitmen pada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, selanjutnya ternyata tasawuf ini dipenuhi filsafat yang memuat paham-paham asing dalam dunia. Pada generasi awal yang terdiri dari para sahabat dan tabi’in ini menerima dan mengajarkan Islam secara utuh, seimbang, mendalam dan komprehensif. Dan mereka juga tidak hanya menonjolkan satu bidang saja, sementara bidang yang lainnya dilupakan. Pada saat mereka memperhatikan aspek batiniyah, maka mereka tidak melupakan  aspek lahriyah. Dan pada saat mereka mengejar urusan ukhrawi, maka mereka pun tidak melalaikan urusan duniawinya. Dalam kata lain, mereka memberi perhatian terhadap akal, ruh, dan jasadnya secara menyeluruh dan juga secara seimbang.
Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan pun terjadi. Karena faktor internal dan faktor eksternal, dan pada saat itu mulai didapati individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu yang bahkan mengkhususkan diri untuk mendalami satu bidang tertentu dari ajaran Islam. Seperti mengkhususkan diri dalam menelaah masalah-masalah ibadah dan segala urusan baik itu perintah ataupun larangan agama. Kemudian mereka ini dikenal dengan ahli fiqih atau biasa disebut dengan fuqaha. Dari sinilah mulai lahirnya empat imam mazhab yang sangat terkenal, yaitu Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Hanafi.
Ahli tasawuf pada periode pertama ini sebenarnya masih berkomitmen terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengikuti batas-batas syara’, dan menjuahi bid’ah dan khufarat, baik itu didalam pemikirannya ataupun perilakunya. Akan tetapi di dalam perkembangan selanjutnya tasawuf ini beralih dari pendidikan akhlaq dan pendidikan ruhani kepada filsafat yang memuat paham-paham yang asing dalam dunia Islam. Dimana tokoh-tokoh mereka mulai memalingkan ajaran tasawuf yang asli dan otentik.   
Dan pada mulanya tasawuf ini merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna-makna intuisi-intuisi islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in kecenderungan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analistis sudah muncul. Dimana ajaran islam ini dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek batiniah (spiritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”.
Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, banyak kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf  falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan hululdan Ittihad.

2.      Macam-macam Penyimpangan Ajaran  Tasawuf

1.      Al-Hulul
Secara harfiah hulul ini berasal dari kata kerja yaitu halla-yahullu-hululan, yang artinya “menempati”. Maksud dari menempati disini adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yang dimana sifat kemanusiaannya itu telah lenyap melalui Fana dan Baqa. Adapun dalam tasawuf filosof , hulul adalah pengalaman spiritual seorang sufi ketika dekat dengan Allah, bersahabat, mengenal dan dikenal Allah, mencintai dan dicintai Allah dengan mendalam, kemudian Allah memilih sufi itu, menempati dirinya, dan menjelma pada diri sufi tersebut.[1]
Adapun secara Istilah hulul ini berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya melalui fana.[2] Menurut keterangan Abu Nasr al-Tuisi dalam al-Luma’ sebagai  dikutip Harun Nasution, paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusian yang ada dalam tubuhnya itu dilenyapkan maka disebut dengan hulul.
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari pasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thawasin.[3]
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dimana di dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog atau perbincangan antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dan didalam dialog tersebut tidak terdapat kata ataupun huruf.
Dan Al-Hallaj pun berkesimpulan bahwa dalam diri manusia ini terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Maka hulul ini akan terjadi jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia itu bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan. Dan untuk mencapai tahap yang seperti ini maka manusia harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanya melalui proses al-Fana.
Berdasarkan uraian diatas tersebut, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana pada tahap ini manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dan dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Adapun tujuan dari hulul ini yaitu untuk mencapai persatuan secara batin. Maka dari itu Hamka mengatakan, bahwa al-Hulul ini adalah ketuhanan (lahut) yang menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini juga daat terjadi ketika kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[4]
2.      Ittihad
Pengertian itttihad sebagaimana yang disebutkan dalam sufi terminologi bahwa ittihad ini adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu. Dimana apabila seorang sufi sudah berada dalam keadaan fana , maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau baqa. Didalam persatuan tersebut ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.[5]
Ittihad adalah faham yang dipopulerkan oleh Abu Yazid Al-Bustami, dimana ittihad itu sendiri memiliki arti “persatuan”.[6] Adapun dalam istilah filosof ittihad ini adalah pengalaman puncak seorang sufi, ketika dirinya merasa dekat dengan Allah, bersahabat, mencintai dan dicintai Allah, dan mengenal-Nya sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan-Nya akan tetapi seseorang yang mencapai ittihad harus melalui beberapa tingkatan, yaitu fana dan baqa.[7]
Adapun Al-fana dari segi bahasa disini berarti hilangnya wujud sesuatu. Dan  fana ini berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana disini memiliki arti yaitu tidak tampaknya sesuatu, sedangkan al-fasad (rusak) adalah berubahnya sesuatu kepada yang lain. Dalam hubungan ini, ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam, Ibn Sina mengatakan bahwa keberadaan benda atau alam itu atas dasar permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan dengan cara rusak.[8]
Bukan hanya itu saja adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.[9]
Apabila seorang sufi ini dapat menyatu dengan Tuhan, maka pada saat itu ia berada dalam keadaan fana, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-Baqa. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.[10]
Adapun Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana  adalah lenyapnya sifat sebagai manusia biasa yang suka terdapat pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk.[11] Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
3.      Wahdatul Wujud
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[12] Jadi jika digabungkan Wahdatul Wujud ini memiliki arti kesatuan wujud. Dan kata wahdah ini digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan bahwa wahdah ini sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Dan bukan hanya itu saja, al-wahdah ini digunakan oleh para ahli fisafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan rohnya, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah Qadim dan berasal dari Allah.[13] Dan pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang digunakan oleh para sufi, yaitu paham bahwa di antara manusia dan Tuhan itu pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.[14]
Pemahaman diatas, menimbulkan paham bahwa diantara Makhluk dan Tuhan itu sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan dan yang sebenarnya ada ini adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk ini hanya bayangan atau fotocopy dari wujud Tuhan. Dengan ini maka bisa dikatakan bahwa alam ini merupakan cermin dari Allah. Jadi, pada saat ia ingin melihat diri-Nya, ia cukup dengan melihat alam ini.
Adapun menurut Harun Nasution yang menjelaskan lebih lanjut tentang paham ini mengatakan, bahwa dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan padanan kata al-‘arad (accident) dan al-jauhar (subtance) dan alzahir (lahir-luar-tampak), dan al-bathin (dalam, tidak tampak).[15]
Menurut paham diatas bahwa tiap-tiap yang ada itu mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut dengan al-khalq (makhluk) al’arad (accident-kenyataan luar), zahir (luar-tampak), dan al-bathin (dalam, tidak tampak).
Bukan hanya itu saja, kata wahdat al-wujud ini yang berarti kesatuan wujud. Dimana dalam kata bahasa Inggris unity of existence sebagai pokok persoalan  wahdat al-wujud adalah yang sebenarnya berhak mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Dan wujud selain dari Tuhan adalah Wujud bayangan.[16]
Adapun menurut Harun Nasution (1978) yang memahami wahdat al-wujud ini bahwa pada setiap yang ada (wujud) mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar, al-ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haqq yang mempunyai sifat ketuhanan.[17]

3.      Solusi efektif Penyimpangan Ajaran Tasawuf

1.      Belajar tasawuf dari sumber aslinya
Belajar tasawuf dari sumber aslinya seperti Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dimana Al-Qur’an ini merupakan kalam Allah yang tidak ada tandingannya (mukjizat), Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi dan Rasul dengan perantaraan Malaikat Jibril, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan surat An-Naas, dan ditulis dengan mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah.[18] Adapun dalam Islam Al-Qur’an merupakan hukum tertinggi yang harus ditaati, mengingat bahwa Al-Qur’an ini merupakan firman Allah yang langsung ditransferkan untuk umat manusia yang sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya.[19]
Dan bukan hanya itu saja, al-Qur’an juga merupakan kitab yang diturunkan oleh Allah untuk umat manusia, meski pada saat yang sama dan inilah yang lebih utama, ia merupakan kitabnya kaum minoritas, kitab bagi mereka yang terpilih secara spiritual.[20] Teks Al-Qur’an ini begitu memukau  karena keakuratannya. Dimana kaum sufi ini berupaya keras untuk menghasilkan makna batin yang mencerminkan percakapan pribadi dengan Tuhan.[21] Bagi sebagian sufi, pembacaan al-Qur’an menjadi cara utama untuk bertafakkur tentang Tuhan selama hayatnya. Perenungan itu sendiri merupakan esensi setiap jalan spiritual.[22]
Adapun Hadits yang merupakan sumber dari pembelajaran tasawuf ini, dimana Hadits yang dijamaknya a-lhadits memiliki padanan kata yang cukup beragam. Dari sisi bahasa, hadits dapat diartikan baru sebagai lawan dari kata qadim (yang berarti lama, abadi dan kekal). Pengistilahan hadits sebagai ucapan, perbuatan, taqrier dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad dimaksudkan untuk membedakan hadits dengan Al-Qur’an yang diyakini oleh ahlus sunnah wal jama’ah sebagai firman Allah yang qadim.[23]
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Al-Hadits ini merupakan sumber  hukum Islam yang kedua. Sehingga dalam kajian ilmu keagamaan pun Hadits tetap menjadi rujukan setelah Al-Qur’an.
2.      Belajar tasawuf dari orang yang ahli tasawuf
Kunci dari belajar tasawuf secara praktek lewat amal dzikir dalam tarekat tergantung dari kualitas Mursyid yang membimbingnya. Dimana seorang Guru Mursyid haruslah berkualitas Wali Allah yang bisa membimbing muridnya 24 jam dimana saja dan kapan saja. Karena seorang Profesor Tasawuf yang sangat mahir tentang ilmu tasawuf saja belum tentu bisa menjadi seorang guru Mursyid.  
Mursyid adalah guru yang mengajarkan dzikir kepada muridnya serta membantu dalam membersihkan sampah-sampah dalam hati murid tersebut  (tazkiyatun nafsi), menghiasi dengan akhlak yang baik, dan juga sebagai obat penawar berbagai macam hatinya. Dia adalah pemimpin yang lebih banyak mengetahui lebih dalam tentang terjadinya jalan menuju Allah.
Jadi Tasawuf ini adalah ilmu praktek dan yang pasti membutuhkan pembimbing yang ahli dalam bidangnya, karena tanpa adanya pembimbing rohani maka segala praktek yang dilakukan sudah pasti akan disesatkan setan. Abu Yazid Al-Bisthami berkata, “Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib setan gurunya.”

C. KESIMPULAN

1.      Awalnya para sufi ini pertama berkomitmen pada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, selanjutnya ternyata tasawuf ini dipenuhi filsafat yang memuat paham-paham asing dalam dunia. Dan mereka juga tidak hanya menonjolkan satu bidang saja, sementara bidang yang lainnya dilupakan. Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf  falsafi.
2.      Secara harfiah hulul berarti tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu yaitu manusia yang telah melenyapkan sifat kemanusiannya melalui fana. Ittihad berarti bersatunya manusia dengan Tuhan. Dimana apabila seorang sufi sudah berada dalam keadaan fana , maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau baqa.  Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Jadi jika digabungkan Wahdatul Wujud ini memiliki arti kesatuan wujud.
3.      Solusi efektifnya yaitu kita harus belajar tasawuf dari sumber aslinya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Karena Al-Qur’an ini adalah hukum tertinggi yang harus kita taati, dan mengingat bahwa Al-Qur’an ini merupakan firman Allah yang langsung ditransferkan atau diberikan kepada umat manusia yang sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya. Dan Hadits yang dijamaknya a-lhadits memiliki padanan kata yang cukup beragam, Dimana dari sisi bahasa, hadits dapat diartikan baru sebagai lawan dari kata qadim (yang berarti lama, abadi dan kekal). Bukan hanya itu saja, kita pun harus belajar tasawuf dari orang yang ahli tasawuf. Kunci dari belajar tasawuf secara praktek lewat amal dzikir dalam tarekat tergantung dari kualitas Mursyid yang membimbingnya. Dimana seorang Guru Mursyid haruslah berkualitas Wali Allah yang bisa membimbing muridnya 24 jam dimana saja dan kapan saja.  


REVERENSI


1.      Nata Abuddin, 2015, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Rajawali Pers.
2.      Hamka, 2016, Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf , Jakarta: Republika Penerbit.
3.      Permadi, 2004, Pengantar Ilmu Tasawwuf, Jakarta: PT Rineka Citra Cipta.
4.      Zahri Mustafa , 2007, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
5.      Ahmad bin Abdul Aziz Al-Hushain Dr. Abdullah Mustofa Numsuk, 2004, Kesesatan Sufi Tasawuf, Ajaran Budha, Jakarta: Pustaka As-Sunnah.
6.      Muhammad Fauqi Hajjaj, 2011, Tasawuf Islam dan Akhlak, Jakarta: Amzah.
7.      Nata Abuddin,  2011, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
8.      Nata Abuddin, 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
9.      Abdullah Hawash, 1980, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-ikhlas.
10.  Mustofa, 1999, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.
11.  Nasution Harun , 1978, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
12.  Julian Baldick, 2002, Islam Mistik “Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
13.  Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, 1991, Studi Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan oleh Drs. H. Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998.


[1] Ismail Asep Usman, Tasawwuf menjawab tantangan global, (Jakarta: transpakuan, 2012), cet I, hlm. 133.
[2] A. Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, (Bairut: Dar al-Fikr, 1996), hlm.337.
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.
III, hlm.88.
[4] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet XI, hlm. 120.
[5] A. Rivay Siregar, Tasawuf :  Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 152.
[6] Aboebakar Atjeh, Sejarah sufi & tasawuf, (Solo: CV. RAMDHANI), cet III, hlm. 127.
[7] Ibid, hlm. 127.
[8] Jamil Shaliba, Mu’jam al-Falsafy, Jilis II, (Beirut: Dar al-Kitab, 1979), hlm.167.
[9] Ibid., hlm. 167.
[10] A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999), hlm.152.
[11] Dr. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tsawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), cet.I, hlm.234.
[12] Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 492&494.
[13] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Perasada, 2012), hlm. 247.
[14] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Perasada, 2006), hlm. 247.
[15] Harun Nasution, Falsafah dan  Misitisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. III, hlm. 92.
[16] Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 275.
[17] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 85.
[18] Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, 1991, Studi Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan oleh Drs. H. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 15
[19] Drs. H. Suteja, M.Ag., Pengantar Tasawuf Islam Teori dan Praktek, (Cirebon: Pangger Press, 2008),hlm. 310-336
[20] Martin Lings, Membedah Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, hlm. 19
[21] Julian Baldick, Islam Mistik “Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 39
[22] Martin Lings, op.cit., hlm. 17
[23] Cecep Sumarna dan Yusuf Saefullah, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar