MAKALAH AKHIR SEMESTER
|
SOLUSI EFEKTIF
DALAM PENYIMPANGAN AJARAN TASAWUF
![]() |
PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS IBN
KHALDUN BOGOR
TH. 2017 M / 1438
H
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan
makalah tentang Solusi Efektif dalam Penyimpangan Ajaran Tasawuf ini dengan
baik meskipun masih banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima kasih
kepada Bapak Badruddin H. Subky selaku Dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf yang
telah memberikan tugas ini kepada saya.
Saya
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita menganai Solusi Efektif dalam Penyimpangan Ajaran Tasawuf ini.
Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga
makalah yang sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun dari
pembaca guna perbaikan malakah ini di waktu yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor,
08 November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Oleh : Hanny Findayani
A. PENDAHULUAN
Pada perkembangannya, tasawuf ke arah pertama ini sering disebut tasawuf akhlaqi. Ada juga yang menyebutkan tasawuf yang sering
dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut tasawuf disebut sebagai falsafi. Dimana pembagian dua jenis tasawuf di atas ini berdasarkan
atas kecenderungan ajaran yang dikembangkan, yakni kecenderungan pada perilaku
atau moral keagamaan dan kecenderungan pada pemikirin. Dua kecenderungan ini terus
berkembang hingga mempunyai jalannya masing-masing. Untuk melihat perkembangan
tasawuf ke arah yang berbeda ini, perlu ditinjau lebih jauh tentang gerak jarak
perkembangannya.
Dari latar belakang
diatas dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama,
Bagaimana Sejarah
Penyimpangan Ajaran Tasawuf? Kedua,
Apa saja Macam-macam Penyimpangan Ajaran Tasawuf? Ketiga, Bagaimana solusi efektif dari Penyimpangan Ajaran Tasawuf?.
Berikut Pembahasannya:
B.
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Penyimpangan Ajaran Tasawuf
Awalnya para sufi ini
pertama berkomitmen pada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, selanjutnya ternyata
tasawuf ini dipenuhi filsafat yang memuat paham-paham asing dalam dunia. Pada
generasi awal yang terdiri dari para sahabat dan tabi’in ini menerima dan mengajarkan
Islam secara utuh, seimbang, mendalam dan komprehensif. Dan mereka juga tidak
hanya menonjolkan satu bidang saja, sementara bidang yang lainnya dilupakan.
Pada saat mereka memperhatikan aspek batiniyah, maka mereka tidak melupakan aspek lahriyah. Dan pada saat mereka mengejar
urusan ukhrawi, maka mereka pun tidak melalaikan urusan duniawinya. Dalam kata
lain, mereka memberi perhatian terhadap akal, ruh, dan jasadnya secara
menyeluruh dan juga secara seimbang.
Seiring dengan
berjalannya waktu, perubahan pun terjadi. Karena faktor internal dan faktor
eksternal, dan pada saat itu mulai didapati individu-individu atau
kelompok-kelompok tertentu yang bahkan mengkhususkan diri untuk mendalami satu
bidang tertentu dari ajaran Islam. Seperti mengkhususkan diri dalam menelaah
masalah-masalah ibadah dan segala urusan baik itu perintah ataupun larangan
agama. Kemudian mereka ini dikenal dengan ahli fiqih atau biasa disebut dengan fuqaha. Dari sinilah mulai lahirnya
empat imam mazhab yang sangat terkenal, yaitu Imam Maliki, Imam Hambali, Imam
Syafi’i, dan Imam Hanafi.
Ahli tasawuf pada
periode pertama ini sebenarnya masih berkomitmen terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah,
mengikuti batas-batas syara’, dan menjuahi bid’ah dan khufarat, baik itu
didalam pemikirannya ataupun perilakunya. Akan tetapi di dalam perkembangan
selanjutnya tasawuf ini beralih dari pendidikan akhlaq dan pendidikan ruhani
kepada filsafat yang memuat paham-paham yang asing dalam dunia Islam. Dimana
tokoh-tokoh mereka mulai memalingkan ajaran tasawuf yang asli dan otentik.
Dan pada mulanya tasawuf ini merupakan perkembangan dari pemahaman tentang
makna-makna intuisi-intuisi islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in
kecenderungan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analistis sudah muncul. Dimana ajaran islam ini dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah
(seremonial) dan aspek batiniah (spiritual), atau aspek “luar” dan
aspek “dalam”.
Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf
dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, banyak kritikan tajam terhadap
para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil
mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu
sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid
Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni
yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan
pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat)
dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu
bertolak dari keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya
penyatuan “hulul” dan Ittihad.
2. Macam-macam
Penyimpangan Ajaran Tasawuf
1. Al-Hulul
Secara harfiah hulul
ini berasal dari kata kerja yaitu halla-yahullu-hululan,
yang artinya “menempati”. Maksud dari menempati disini adalah Tuhan mengambil
tempat dalam tubuh manusia tertentu, yang dimana sifat kemanusiaannya itu telah
lenyap melalui Fana dan Baqa. Adapun dalam tasawuf filosof , hulul adalah
pengalaman spiritual seorang sufi ketika dekat dengan Allah, bersahabat,
mengenal dan dikenal Allah, mencintai dan dicintai Allah dengan mendalam,
kemudian Allah memilih sufi itu, menempati dirinya, dan menjelma pada diri sufi
tersebut.[1]
Adapun secara Istilah hulul ini berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,
yaitu manusia yang telah melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya melalui fana.[2] Menurut keterangan
Abu Nasr al-Tuisi dalam al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah kemanusian yang ada dalam tubuhnya itu dilenyapkan maka
disebut dengan hulul.
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri
manusia ini, bertolak dari pasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada
diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan).
Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama
al-thawasin.[3]
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat
diri-Nya sendiri. Dimana di dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog atau
perbincangan antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dan didalam dialog tersebut
tidak terdapat kata ataupun huruf.
Dan Al-Hallaj pun berkesimpulan bahwa dalam diri
manusia ini terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga terdapat
sifat kemanusiaan (nasut). Maka hulul ini akan terjadi jika sifat ketuhanan
yang ada dalam diri manusia itu bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam
diri Tuhan. Dan untuk mencapai tahap yang seperti ini maka manusia harus
menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanya melalui proses al-Fana.
Berdasarkan uraian diatas tersebut, maka al-Hulul
dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana pada tahap ini manusia dan Tuhan
bersatu secara rohaniah. Dan dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain
dari al-ittihad sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Adapun tujuan dari
hulul ini yaitu untuk mencapai persatuan secara batin. Maka dari itu Hamka
mengatakan, bahwa al-Hulul ini adalah ketuhanan (lahut) yang menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini juga daat terjadi ketika kebatinan seorang
insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[4]
2.
Ittihad
Pengertian itttihad sebagaimana yang disebutkan dalam
sufi terminologi bahwa ittihad ini adalah penggabungan antara dua hal yang
menjadi satu. Dimana apabila seorang sufi sudah berada dalam keadaan fana , maka pada saat itu ia telah dapat
menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau baqa. Didalam persatuan tersebut ia menemukan hakikat jati dirinya
sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.[5]
Ittihad adalah faham yang dipopulerkan oleh Abu Yazid Al-Bustami, dimana ittihad itu
sendiri memiliki arti “persatuan”.[6]
Adapun dalam istilah filosof ittihad ini adalah pengalaman puncak seorang sufi,
ketika dirinya merasa dekat dengan Allah, bersahabat, mencintai dan dicintai
Allah, dan mengenal-Nya sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu
dengan-Nya akan tetapi seseorang yang mencapai ittihad harus melalui beberapa
tingkatan, yaitu fana dan baqa.[7]
Adapun Al-fana dari
segi bahasa disini berarti hilangnya wujud sesuatu. Dan fana ini berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana disini memiliki arti yaitu tidak tampaknya sesuatu, sedangkan al-fasad (rusak) adalah berubahnya
sesuatu kepada yang lain. Dalam hubungan ini, ketika membedakan antara
benda-benda yang bersifat samawiyah
dan benda-benda yang bersifat alam, Ibn Sina mengatakan bahwa keberadaan benda
atau alam itu atas dasar permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang
satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan dengan cara rusak.[8]
Bukan hanya itu saja adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi
dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri.
Menurut pendapat lain, fana berarti
bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat
pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.[9]
Apabila seorang sufi ini dapat menyatu dengan Tuhan,
maka pada saat itu ia berada dalam keadaan fana,
sehingga wujudiyahnya kekal atau al-Baqa.
Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang
berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.[10]
Adapun Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud
fana adalah lenyapnya sifat sebagai
manusia biasa yang suka terdapat pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah
diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu,
alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau
dari alam makhluk.[11] Selain
itu fana juga dapat berarti hilangnya
sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
3.
Wahdatul Wujud
Wahdat al-wujud adalah
ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat
dan al-wujud. Wahdat artinya
sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud
artinya ada.[12] Jadi jika digabungkan Wahdatul Wujud ini memiliki arti
kesatuan wujud. Dan kata wahdah ini
digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang
mengartikan bahwa wahdah ini sebagai
sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Dan
bukan hanya itu saja, al-wahdah ini
digunakan oleh para ahli fisafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara
makhluk dan rohnya, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada
hakikatnya alam adalah Qadim dan berasal dari Allah.[13]
Dan pengertian wahdatul wujud yang
terakhir itulah yang digunakan oleh para sufi, yaitu paham bahwa di antara
manusia dan Tuhan itu pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.[14]
Pemahaman diatas, menimbulkan paham bahwa diantara
Makhluk dan Tuhan itu sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan dan yang
sebenarnya ada ini adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk ini hanya
bayangan atau fotocopy dari wujud Tuhan. Dengan ini maka bisa dikatakan bahwa
alam ini merupakan cermin dari Allah. Jadi, pada saat ia ingin melihat
diri-Nya, ia cukup dengan melihat alam ini.
Adapun menurut Harun Nasution yang menjelaskan lebih
lanjut tentang paham ini mengatakan, bahwa dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah
menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek
yang sebelah luar disebut khalq dan
aspek yang sebelah dalam disebut haqq.
Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan padanan kata al-‘arad (accident) dan al-jauhar (subtance)
dan alzahir (lahir-luar-tampak), dan al-bathin (dalam, tidak tampak).[15]
Menurut paham diatas bahwa tiap-tiap yang ada itu
mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut dengan al-khalq (makhluk) al’arad (accident-kenyataan
luar), zahir (luar-tampak), dan al-bathin (dalam, tidak tampak).
Bukan hanya itu saja, kata wahdat al-wujud ini yang berarti kesatuan wujud. Dimana dalam kata
bahasa Inggris unity of existence sebagai
pokok persoalan wahdat al-wujud adalah yang sebenarnya berhak mempunyai wujud
hanyalah satu, yaitu Tuhan. Dan wujud selain dari Tuhan adalah Wujud bayangan.[16]
Adapun menurut Harun Nasution (1978) yang memahami wahdat al-wujud ini bahwa pada setiap
yang ada (wujud) mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar, al-ard dan khalq yang
mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haqq yang
mempunyai sifat ketuhanan.[17]
3. Solusi efektif
Penyimpangan Ajaran Tasawuf
1.
Belajar tasawuf dari
sumber aslinya
Belajar tasawuf dari sumber aslinya seperti Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Dimana Al-Qur’an ini merupakan kalam Allah yang tidak ada
tandingannya (mukjizat), Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
penutup para Nabi dan Rasul dengan perantaraan Malaikat Jibril, dimulai dengan
surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan surat An-Naas, dan ditulis dengan mushaf-mushaf
yang disampaikan kepada kita secara mutawatir
(oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah.[18] Adapun
dalam Islam Al-Qur’an merupakan hukum tertinggi yang harus ditaati, mengingat
bahwa Al-Qur’an ini merupakan firman Allah yang langsung ditransferkan untuk
umat manusia yang sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya.[19]
Dan bukan hanya itu saja, al-Qur’an juga merupakan
kitab yang diturunkan oleh Allah untuk umat manusia, meski pada saat yang sama
dan inilah yang lebih utama, ia merupakan kitabnya kaum minoritas, kitab bagi
mereka yang terpilih secara spiritual.[20] Teks
Al-Qur’an ini begitu memukau karena
keakuratannya. Dimana kaum sufi ini berupaya keras untuk menghasilkan makna
batin yang mencerminkan percakapan pribadi dengan Tuhan.[21] Bagi
sebagian sufi, pembacaan al-Qur’an menjadi cara utama untuk bertafakkur tentang Tuhan selama
hayatnya. Perenungan itu sendiri merupakan esensi setiap jalan spiritual.[22]
Adapun Hadits yang merupakan sumber dari pembelajaran
tasawuf ini, dimana Hadits yang dijamaknya a-lhadits
memiliki padanan kata yang cukup beragam. Dari sisi bahasa, hadits dapat
diartikan baru sebagai lawan dari kata qadim (yang berarti lama, abadi dan
kekal). Pengistilahan hadits sebagai ucapan, perbuatan, taqrier dan hal ihwal
tentang Nabi Muhammad dimaksudkan untuk membedakan hadits dengan Al-Qur’an yang
diyakini oleh ahlus sunnah wal jama’ah sebagai
firman Allah yang qadim.[23]
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Al-Hadits ini merupakan
sumber hukum Islam yang kedua. Sehingga
dalam kajian ilmu keagamaan pun Hadits tetap menjadi rujukan setelah Al-Qur’an.
2.
Belajar tasawuf dari
orang yang ahli tasawuf
Kunci dari belajar tasawuf secara praktek lewat amal
dzikir dalam tarekat tergantung dari kualitas Mursyid yang membimbingnya.
Dimana seorang Guru Mursyid haruslah berkualitas Wali Allah yang bisa membimbing
muridnya 24 jam dimana saja dan kapan saja. Karena seorang Profesor Tasawuf
yang sangat mahir tentang ilmu tasawuf saja belum tentu bisa menjadi seorang
guru Mursyid.
Mursyid adalah guru yang mengajarkan dzikir kepada
muridnya serta membantu dalam membersihkan sampah-sampah dalam hati murid
tersebut (tazkiyatun nafsi), menghiasi dengan akhlak yang baik, dan juga
sebagai obat penawar berbagai macam hatinya. Dia adalah pemimpin yang lebih
banyak mengetahui lebih dalam tentang terjadinya jalan menuju Allah.
Jadi Tasawuf ini adalah ilmu praktek dan yang pasti
membutuhkan pembimbing yang ahli dalam bidangnya, karena tanpa adanya
pembimbing rohani maka segala praktek yang dilakukan sudah pasti akan
disesatkan setan. Abu Yazid Al-Bisthami berkata, “Barang siapa yang menuntut
ilmu tanpa berguru, maka wajib setan gurunya.”
C.
KESIMPULAN
1.
Awalnya para sufi ini
pertama berkomitmen pada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, selanjutnya ternyata
tasawuf ini dipenuhi filsafat yang memuat paham-paham asing dalam dunia. Dan
mereka juga tidak hanya menonjolkan satu bidang saja, sementara bidang yang
lainnya dilupakan. Dengan
demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih berorientasi pada
pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi.
2.
Secara harfiah
hulul berarti tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu yaitu manusia
yang telah melenyapkan sifat kemanusiannya melalui fana. Ittihad berarti
bersatunya manusia dengan Tuhan. Dimana apabila seorang sufi sudah berada dalam
keadaan fana , maka pada saat itu ia
telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau baqa. Wahdat
al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Jadi jika digabungkan
Wahdatul Wujud ini memiliki arti kesatuan wujud.
3.
Solusi efektifnya
yaitu kita harus belajar tasawuf dari sumber aslinya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Karena Al-Qur’an ini adalah
hukum tertinggi yang harus kita taati, dan mengingat bahwa Al-Qur’an ini merupakan
firman Allah yang langsung ditransferkan atau diberikan kepada umat manusia yang
sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya.
Dan Hadits yang dijamaknya a-lhadits memiliki padanan kata yang
cukup beragam, Dimana dari sisi bahasa, hadits dapat diartikan baru sebagai
lawan dari kata qadim (yang berarti lama, abadi dan kekal). Bukan hanya itu saja, kita pun harus belajar tasawuf
dari orang yang ahli tasawuf. Kunci dari belajar
tasawuf secara praktek lewat amal dzikir dalam tarekat tergantung dari kualitas
Mursyid yang membimbingnya. Dimana seorang Guru Mursyid haruslah berkualitas Wali
Allah yang bisa membimbing muridnya 24 jam dimana saja dan kapan saja.
REVERENSI
1. Nata
Abuddin, 2015, Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia, Jakarta: Rajawali Pers.
2. Hamka,
2016, Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf
, Jakarta: Republika Penerbit.
3. Permadi,
2004, Pengantar Ilmu Tasawwuf,
Jakarta: PT Rineka Citra Cipta.
4. Zahri
Mustafa , 2007, Kunci Memahami Ilmu
Tasawuf, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
5. Ahmad
bin Abdul Aziz Al-Hushain Dr. Abdullah Mustofa Numsuk, 2004, Kesesatan Sufi Tasawuf, Ajaran Budha, Jakarta:
Pustaka As-Sunnah.
6. Muhammad
Fauqi Hajjaj, 2011, Tasawuf Islam dan
Akhlak, Jakarta: Amzah.
7. Nata
Abuddin, 2011, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
8. Nata
Abuddin, 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
9. Abdullah
Hawash, 1980, Perkembangan Ilmu Tasawuf
dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-ikhlas.
10. Mustofa,
1999, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV.
Pustaka Setia.
11. Nasution
Harun , 1978, Falsafah dan Mistisisme
dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
12. Julian
Baldick, 2002, Islam Mistik “Mengantar
Anda ke Dunia Tasawuf, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
13. Prof.
Dr. Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, 1991, Studi
Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan oleh Drs. H. Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia,
1998.
[1] Ismail Asep Usman, Tasawwuf menjawab tantangan global, (Jakarta:
transpakuan, 2012), cet I, hlm. 133.
[2] A. Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1996), hlm.337.
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1983), cet.
III, hlm.88.
[4] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984), cet XI, hlm. 120.
[5] A. Rivay Siregar, Tasawuf :
Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), hlm. 152.
[6] Aboebakar Atjeh, Sejarah sufi & tasawuf, (Solo: CV.
RAMDHANI), cet III, hlm. 127.
[7] Ibid, hlm. 127.
[8] Jamil Shaliba, Mu’jam al-Falsafy, Jilis II, (Beirut:
Dar al-Kitab, 1979), hlm.167.
[9] Ibid., hlm. 167.
[10] A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999), hlm.152.
[11] Dr. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tsawuf, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1985), cet.I, hlm.234.
[12] Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm.
492&494.
[13] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Perasada, 2012), hlm.
247.
[14] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Perasada, 2006), hlm.
247.
[15] Harun Nasution, Falsafah dan Misitisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), cet. III, hlm. 92.
[16] Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 275.
[17] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), hlm. 85.
[18] Prof. Dr. Muhammad Ali
Ash-Shaabuuniy, 1991, Studi Ilmu
Al-Qur’an, Terjemahan oleh Drs. H. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia,
1998), hlm. 15
[19] Drs. H. Suteja, M.Ag., Pengantar Tasawuf Islam Teori dan Praktek,
(Cirebon: Pangger Press, 2008),hlm. 310-336
[21] Julian Baldick, Islam Mistik “Mengantar Anda ke Dunia
Tasawuf, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 39
[22] Martin Lings, op.cit., hlm. 17
[23] Cecep Sumarna dan Yusuf Saefullah,
Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar